Pages

Minggu, 11 Januari 2015

Teori Sastra Strukturalisme



Sebagai salah satu bentuk fenomena , kebenaran ilmu pengetahuan tentu tidaklah bersifat mutlak. Ilmu pengetahuan bukanlah wahyu Tuhan yang kebenarannya tidak dapat ditawar-tawar lagi. Teori sastra adalah bagian dari ilmu pengetahuan yang kebenarannya tidak bersifat mutlak itu. Oleh karena itu, selalu tersedia ruang kosong dari setiap teori sastra yang dapat diisi oleh siapa pun yang mempelajarinya. Ruang kosong itu terbuka bagi setiap orang untuk mengkritisi teori yang dipelajarinya.
Banyak aspek yang dapat dikritis dari sebuah teori sastra. Salah satu dari aspek tersebut adalah apa yang menjadi kelemahan dari teori sastra tersebut dalam tugasnya sebagai alat untuk menelaah karya sastra. Dalam hubungan dengan kajian atau analisis karya sastra, sebuah teori sastra adalah sebuah "pisau bedah" yang digunakan untuk "mengoperasi" karya sastra tersebut. Tidak setiap pisau bedah cocok untuk digunakan dalam setiap operasi pembedahan. Di samping tergantung dari anatomi tubuh manusia yang akan dioperasinya, juga tergantung dari jenis penyakitnya.
Demikian pula halnya dengan teori sastra. Tidak sembarang teori sastra dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra. Lebih tepatnya, tidak sembarang teori sastra dapat digunakan untuk mencapai tujuan dari analisis yang dilakukan terhadap karya sastra tersebut. Pilihan teori sastra sebagai pisau bedah analisis tergantung dari tujuan yang hendak dicapai dari analisis karya sastra tersebut. Namun, sesuai dengan kedudukannya sebagai salah satu bentuk fenomena dalam definisi Imannuel Kant, teori sastra sebagai pisau bedah memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Kelemahan (atau kekurangan) dari masing-masing teori sastra dalam fungsinya sebagai alat analisis karya sastra itulah yang menjadi perhatian penulis untuk disajikan dalam kertas-tugas ini.
TEORI SASTRA STRUKTURALIS
Pada abad 20 di Barat terjadi perubahan haluan yang berangsur-angsur dalam ilmu sastra. Pergeseran yang umum dapat dilihat di bidang ilmu-ilmu kemanusiaan ialah pergeseran dari pendekatan historik atau diakronik ke pendekatan sinkronik –bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi di suatu masa yang terbatas dengan mengabaikan perkembangannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi II : 946)- dan sekaligus dapat disaksikan secara khas pergeseran dari pendekatan sastra sebagai sarana untuk pengetahuan lain ke arah sastra sebagai bidang kebudayaan yang otonom.
Dibidang ilmu bahasa, telah disebut nama Ferdinand de Saussure, yang membawa perputaran perspektif yang cukup radikal dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Penelitian bahasa menurut pendapat ini harus mendahulukan bahasa sebagai system yang sinkronik, makna dan fungsi unsur-unsurnya hanya dapat dipahami dalam keterkaitan dengan unsur-unsur lain. Sifat utama bahasa sebagai system tanda ialah sifat relasionalnya yang berarti keseluruhan relasi atau oposisi antara unsur-unsur dan aspek-aspeknya harus diteliti dan dipahami lebih dahulu baru kemudian secara efektif dapat ditelusuri perubahannya dalam sejarah. Konsepsi yang demikianlah merupakan awal mula aliran ilmu bahasa yang disebut strukturalis yang kemudian berpuluh-puluh tahun lamanya menjadi dominan dalam ilmu bahasa, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat.
 sastra merupakan tahap awal dalam penelitian karya sastra yang harus dilakukan untuk mengetahui karya satra itu berkualitas apa tidak, tetapi untuk mengetahui hal tersebut tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja melainkan harus dari semua elemen secara keseluruhan. Analisis struktural merupakan salah satu cara untuk mengetahui kualitas sastra, dan merupakan jembatan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam karya sastra. Oleh karena itu, peneliti hendaknya tidak terjebak dalam analisis struktural sebab tujuan utama dalam penelitian adalah mengkaji makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Fananie (2000: 76) penilaian karya sastra yang baik tidak hanya dinilai berdasarkan pada salah satu elemennya melainkan harus dilihat secara keseluruhan. Oleh karena itu, karya sastra yang hanya bagus dalam salah satu aspeknya, belum dapat dikatakan sebagai sastra yang berkualitas atau sastra yang baik, begitu juga sebaliknya.
Analisis struktural sastra disebut juga pendekatan objektif dan menganalisis unsur intrinsiknya, Fananie (2000: 112) mengemukakan bahwa pendekatan objektif adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan. Pendekatan yang dinilai dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku. Konvensi tersebut misalnya, aspek-aspek instrinsik sastra yang meliputi kebulatan makna, diksi, rima, struktur kalimat, tema, plot (setting), karakter. Yang jelas, penilaian yang diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra tersebut berdasarkan keharmonisan semua unsur pembentuknya. Pada aspek ini semua karya sastra baru bisa disebut bernilai apabila tiap-tiap unsur pembentuknya (unsur intrinsiknya) tercermin dalam strukturnya, seperti tema, karakter, plot (setting).
Bahasa merupakan satu kesatuan yang utuh. Kesatuan yang mencerminkan satu harmonisasi sebagaimana yang dituntut dalam kriteria estetik. Sebuah struktur mempunyai tiga sifat yaitu totalitas, trasformasi, dan pengaturan diri. Transformasi yang dimaksud bahwa struktur terbentuk dari serangkaian unsur, tetapi unsur-unsur itu tunduk kepada kaidah-kaidah yang mencirikan sistem itu sebagai sistem. Dengan kata lain, susunannya sebagai kesatuan akan menjadi konsep lengkap dalam dirinya. Transformasi dimaksudkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur dan mengakibatkan hubungan antarstruktur menjadi berubah pula. Pengaturan diri dimaksudkan bahwa sruktur itu dibentuk oleh kaidah-kaidah instrinsik dari hubungan antarunsur yang akan mengatur sendiri bila ada unsur yang berubah atau hilang (Peaget dalam Sangidu, 2004: 16). Transformasi yang terjadi pada sebuah struktur karya sastra bergerak dan melayang-layang dalam teksnya serta tidak menjalar keluar teksnya. Karya sastra sebagai sebuah struktur merupakan sebuah bangunan yang terdiri atas berbagai unsur, yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Karena itu, setiap perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur akan mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah. Perubahan hubungan antarunsur pada posisinya itu secara otomatis akan mengatur diri (otoregulasi) pada posisinya semula (Peaget dalam Sangidu, 2004: 16).
Struktur bukanlah suatu yang statis, tetapi merupakan suatu yang dinamis karena didalamnya memiliki sifat transformasi. Karena itu, pengertian struktur tidak hanya terbatas pada struktur (structure), tetapi sekaligus mencakup pengertian proses menstruktur (structurant) (Peaget dalam Sangidu, 2004: 16). Dengan demikian, teori struktural adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.
 Stanton (2007:20) membagi unsur-unsur instrinsik yang dipakai dalam menganalisis struktural karya sastra diantaranya, alur, karakter, latar, tema, saranasarana sastra, judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi.
Alur : Stanton, (2007: 26) mengemukakan bahwa alur adalah rangkaian-rangkaian dalam sebuah cerita.
Karakter (penokohan) : Stanton (2007: 33) mengemukakan bahwa karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita seperti ketika ada orang yang bertanya; "Berapa karakter yang ada dalam cerita itu?". Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu.
Latar : Stanton (2007: 35) mengemukakan bahwa latar (setting) adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
Tema : Stanton (2007: 36) mengemukakan bahwa tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan "makna" dalam pengalaman manusia; suatu yang menjadikan suatu pengalaman yang iangkat.
Sarana-Sarana Sastra : Stanton (2007: 46) mengemukakan bahwa sarana sastra dapat diartikan sebagai metode pengarang memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai polapola yang bermakna. Metode ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi.
Judul : Stanton (2007: 51) mengemukakan bahwa judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul menuju pada sang karakter utama atau satu latar.
Sudut pandang : Stanton (2007: 53) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah posisi tokoh dalam cerita.
Gaya dan Tone : Stanton (2007: 61) mengemukakan bahwa gaya atau tone dalam sastra adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa.
Simbolisme : Stanton (2007: 64) mengemukakan bahwa simbol adalah tanda-tanda yang digunakan untuk melukiskan atau mengungkapkan sesuatu dalam cerita.
Ironi : Stanton (2007: 71) mengemukakan bahwa secara umum ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya.
Pada prinsipnya, analisis struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, serinci dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan karya menyeluruh. Analisis structural bukanlah penjumlahan anasir-anasir itu, misalnya tidak cukup didaftarkan semua kasus aliterasi, asonansi, rima akhir, rima dalam, inverse sintaksis, metaphor dan metonimi dengan segala macam peristilahan yang muluk-muluk, dengan apa saja yang secara formaldapat diperhatikan pada sebuah sajak, atau dalam hal roman pun tidak cukup semacam enumerasi gejala-gejala yang berhubungan dengan aspek waktu, ruang, perwatakan, point of view, sorot balik dan apa saja. Yang penting justru sumbangan yang diberikan oleh semua gejala semacam ini pada keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinannya, juga dan justru antara berbagai tataran (fonik, morfologis, sintaksis, semantic).
ANALISIS STRUKTURAL UNTUK KARYA SASTRA DI INDONESIA
Di Indonesia juga sudah banyak analisis struktur yang dihasilkan baik sebagai sebuah skripsi sarjana, atau dalam proyek (Pusat Bahasa, Fakultas Sastra dll), ataupun dalam ruangan Sorotan yang dimulai oleh Jassin, kemudian terdapat dalam banyak suratkabar dan majalah lain. Tetapi sering analisis semacam itu kurang mendalam dan terpadu. Yang baik, misalnya, beberapa tulisan Umar Junus sejak tahun 1970, dan sejumlah studi Subagio Sastrowardoyo. Di bidang sastra Melayu klasik dapat disebut desertasi Achadiati Ikram mengenai Hikayat Sri Rama (1980) dan desertasi Sulastin Sutrisno mengenai Hikayat Hang Tuah (1978).
Berbagai contoh analisis struktural terhadap karya sastra Indonesia, dapat dibaca lebih lanjut dalam buku Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya karya Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo.
KELEMAHAN ANALISIS STRUKTURAL
Kelemahan terbesar dari strukturalisme adalah sifatnya yang sinkronistis. Sebuah karya sastra dianggap sebagai sebuah dunia tersendiri yang terlepas dari dunia lainnya. Padahal, sebuah karya sastra adalah cermin zamannya. Artinya, karya sastra yang dihasilkan seorang pengarang pada suatu kurun waktu tertentu merupakan gambaran dari kondisi kehidupan yang terdapat dalam kurun waktu tersebut. Di dalamnya terdapat gambaran tentang situasi sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dari kurun waktu (zaman) tersebut. Strukturalisme mengabaikan semua itu. Strukturalisme hanya "bermain-main" dengan bangunan bentuk dari sebuah karya sastra semata-mata. Aspek-aspek kesejarahan dari sebuah karya sastra tidak dibenarkan untuk dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Dapatlah dipahami jika teori strukturalisme diposisikan sebagai teori sastra yang a-historis. Seorang pengarang tidaklah menulis dalam sebuah ruang kosong. Ia menulis dalam sebuah ruang yang di dalamnya penuh dengan berbagai persoalan kehidupan. Persoalan-persoalan itu tentulah mempengaruhi alam pikiran pengarang ketika membuat karangannya. Kondisi itu diabaikan oleh teori strukturalisme.

Pendekatan Sastra



Dalam sastra terdapat empat pendekatan yang dikenal oleh masyarakat umum, yaitu pendekatan ekspresif, pendekatan objektif, pendekatan mimetik, pendekatan pragmatik.
Berikut ini dijelaskan pendekatan di atas, diantaranya:
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberakan pada ekspresi perasaan penulis. Dalam pendekatan ini, penilaian terhadap karya seni ditekankan pada kebaruan dan keorisinalitasannya. Dalam kajian sastra, pendekatan ini jarang digunakan karena tidak banyak ahli yang menggunakan pendekatan ekspresif ini.
Pendekatan objektif adalah pendekatan pada kajian sastra yang menitik beratkan pada karya sastranya. Dalam kerjanya, pendekatan objektif akan memahami sistem di dalam karya sastra. Unsur sistem itu disebut unsur instrinsik.
            Pendekatan mimetik adalah pendekatan pada kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar sastra.
Pendekatan pragmatig adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra. Pembaca sangat berperan dalam menentukan sebuah karya tersebut,  termasuk karya sastra atau bukan karya sastra.

Sabtu, 10 Januari 2015

Pengertian Sastra



Sastra sebagai cabang dari seni yang merupakan unsur integral dari kebudayaan usianya sudah cukup tua. Sastra telah menjadi bagian dari pengalaman hidup manusia sejak dahulu, baik dari aspek manusia sebagai penciptanya maupun aspek manusia sebagai penikmatnya. Karya sastra merupakan curahan pengalaman batin pengarang tentang fenomena kehidupan sosial dan budaya masyarakat pada masanya. Ia juga merupakan ungkapan peristiwa, ide, gagasan serta nilai-nilai kehidupan yang diamanatkan didalamnya. Sastra mempersoalkan manusia dalam segala aspek kehidupannya sehingga karya itu berguna untuk mengenal manusia dan kebudayaan dalam kurun waktu tertentu.

Ada bermacam-macam definisi tentang kesusastraan. Namun demikian, diskusi tentang hakikat sastra sampai sekarang masih hangat. Hal itu karena banyak definisi yang tidak memuaskan. Definisi-definisi yang pernah ada kurang memuaskan karena :
  1. Pada dasarnya sastra bukanlah ilmu, sastra adalah cabang seni. Seni sangat ditentukan oleh faktor manusia dan penafsiran, khususnya masalah perasaan, semangat, kepercayaan. Dengan demikian, sulit sekali dibuat batasan atau definisi sastra di mana definisi tersebut dihasilkan dari metode ilmiah.
  2. Orang ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus. Seperti diketahui, karya sastra selalu melekat dengan situasi dan waktu penciptaannya. Karya sastra tahun 1920-an tentu berbeda dengan karya sastra tahun 1966. Kadang-kadang definisi kesusastraan ingin mencakup seluruhnya, sehingga mungkin tepat untuk satu kurun waktu tertentu tetapi ternyata kurang tepat untuk yang lain.
  3. Orang ingin mencari definisi ontologis tentang sastra (ingin mengungkap hakikat sastra). Karya sastra pada dasarnya merupakan hasil kreativitas manusia. Kreativitas merupakan sesuatu yang sangat unik dan individual. Oleh sebab itu sangat tidak memungkinkan jika orang mau mengungkap hakikat sastra.
  4. Orientasinya terlalu kebarat-baratan. Ketika orang mencoba mendefinisikan kesusastraan, orang cenderung mengambil referensi dari karya-karya barat. Padahal belum tentu telaah yang dilakukan untuk karya sastra Barat sesuai untuk diterapkan pada karya sastra Indonesia.
Biasanya terjadi percampuran antara mendefinisikan sastra dan menilai bermutu tidaknya suatu karya sastra. Definisi mensyaratkan sesuatu rumusan yang universal, berlaku umum, sementara penilaian hanya berlaku untuk karya-karya tertentu yang diketahui oleh pembuat definisi.
Beberapa definisi yang pernah diungkapkan orang :
  1. Sastra adalah seni berbahasa.
  2. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam.
  3. Sastra adalah ekspresi pikiran (pandangan, ide, perasaan, pemikiran) dalam bahasa.
  4. Sastra adalah inspirasi kehidupan yanag dimateraikan dalam sebuah bentuk keindahan.
  5. Sastra adalah buku-buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang mendalam dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keluasan pandangan, dan bentuk yang mempesona.
  6. Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakainan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
  7. Sesuatu disebut teks sastra jika (1) teks tersebut tidak melulu disusun untuk tujuan komunikatif praktis atau sementara waktu, (2) teks tersebut mengandung unsur fiksionalitas, (3) teks tersebut menyebabkan pembaca mengambil jarak, (4) bahannya diolah secara istimewa, dan (5) mempunyai keterbukaan penafsiran.
Sampai saat ini ada keyakinan bahwa ada tiga hal yang membedakan karya sastra dengan karya tulis lainnya, yaitu
  1. sifat khayali
  2. adanya nilai-nilai seni/estetika
  3. penggunaan bahasa yang khas
*       Beberapa pengertian sastra yang dikemukakan oleh para ahli antara lain :
1.     Menurut A. Teeuw, dalam bukunya yang berjudul Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori Sastra (1984:22-23), dipaparkan bahwa dalam dalam bahasa-bahasa Barat gejala yang ingin kita batasi disebut literature (Innggris), literature (Jerman), dan litterature (Perancis). Ketiga istilah tersebut berasal dari bahasa Latin litteratura yang sebetulnya merupakan terjemahan dari kata Yunani grammatika. Litteratura dan grammatika masing-masing berdasarkan kata littera dan gramma yang didefenisikan sebagai segala sesuatu yang tertulis; pemakaian bahasa dalam bentuk tulis.

2.     Menurut Jacob Sumardjo dan Saini K.M. (1991:2-3), setidaknya ada beberapa batasan yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan Apa Itu Sastra ? Pertama, sastra adalah seni bahasa. Kedua, sastra adalah ungkapan yang spontan dari perasaan yang mendalam. Ketiga, sastra adalah ekspresi pikiran, semua kegiatan mental manusia dalam bahasa. Keempat, sastra adalah inspirasi kehidupan yang diungkapkan dalam bentuk keindahan. Kelima, sastra adalah semua buku yang memuat perasaan kemanusiaan mendalam dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keluasan pandangan, dan bentuk memesona.
3.     Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dnegan alat bahasa.
*       Studi sastra (Literary Study/Literary Studies) muncul ketika filosofi Yunani, Aristoteles (384-322SM) lebih dari 2000 tahun yang lalu ketika ia menulis buku yang berjudul Poetica. Tulisannya itu memuat tentang teori drama tragedi. Selanjutnya istilah poetica dalam teori kesusastraan disebut dengan beberapa istilah.
-       W.H. Hudson menamakannya dengan studi sastra (The Study of Literature)
-       Rene Wellek dan Austin Warren menamakannya dengan teori sastra (Theory of Literature)
-       Andre Lafevere menamakannya dengan pengetahuan sastra (Literary Knowledge)
-       A.  Teeuw menggunakan istilah ilmu sastra (Literary Scholarship)
Berdasarkan terminologi kata, ketiga istilah tersebut berbeda maknanya.
-       Studi menyiratkan makna proses mempelajari suatu objek. Untuk memahami karya sastra sebagai suatu objek memerlukan proses dalam mempelajarinya. Proses yang dilakukan berupa berbagai kegiatan belajar sehingga tercapai pemahaman terhadap karya sastra yang dipelajari.
-       Teori menyangkut makna asas atau hukum yang menjadi dasar ilmu pengetahuan. Karya sastra sebagai suatu objek yang dipelajari tentu ada asas-asas, hukum-hukum, landasan-landasan yang menopangnya sehingga ia berwujud sebagai sebuah karya sastra yang berbeda dengan karya-karya yang lain.Ilmu menyangkut makna pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejal-gejala yang terdapat didalam bidang tersebut. Pengetahuan menyangkut sesuatu yang diketahui sebagai hasil dari proses belajar sastra.

Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sastra juga cabang ilmu pengetahuan.  Studi sastra memiliki metode-metode yang absah dan ilmiah, walau tidak selalu sama dengan metode ilmu-ilmu alam. Bedanya hanya saja ilmu-ilmu alam berbeda dengan tujuan ilmu-ilmu budaya. Ilmu-ilmu alam mempelajari fakta-fakta yang berulang, sedangkan sejarah mengkaji fakta-fakta yang silih berganti. Karya sastra pada dasarnya bersifat umum dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepat lagi : individual dan umum sekaligus. Studi sastra adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang berkembang terus-menerus. (Rene Wellek dan Austin Warren)
Pertanggungjawaban sastra adalah estetika dan ruang lingkup sastra adalah kreatifitas penciptaan yang meliputi puisi, prosa, dan drama. Sedangkan pertanggungjawaban studi sastra adalah logika dan ruang lingkup studi sastra adalah ilmu dengan sastra sebagai objek (BudiDarma)
 

 
*       Dalam wilayah studi sastra terdapat tiga cabang ilmu sastra yaitu teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra
Ø  Sastra dapat dilihat dari sudut pandang prinsip, kategori, asas, atau ketentuan yang mendasari karya sastra. Teori sastra adalah teori tentang prinsip-prinsip, kategori, asas, atau hukum yang mendasari pengkajian karya sastra.
Ø  Sastra dapat dilihat deretan karya yang sejajar atau tersusun secara kronologis dari masa ke masa dan merupakan bagian dari proses sejarah. Sejarah sastra adalah ilmu yang mempelajari tentang perkembangan sastra secara kronologis dari waktu ke waktu
Ø  Sastra dapat dikaji dengan menggunakan prinsip-prinsip karya sastra. Kritik sastra adalah ilmu yang mempelajari dan memberikan penilaian terhadap karya sastra berdasarkan teori sastra. Di dalam ilmu sastra, perlu disadari bahwa ketiga bidang tersebut tidak dapat dipisahkan (Wellek dan Warren; 1977:39)