Pages

Sabtu, 19 Desember 2015

Penelitian Sosiolinguistik



RAGAM BAHASA JUAL BELI DI TOKO PAKAIAN PASAR TRADISIONAL KEMANTRAN KABUPATEN TEGAL
Oleh : Mulyatiningsih

PENDAHULUAN
            Setiap manusia dalam kehidupan selalu berkomunikasi dan berinteraksi baik antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun individu dengan kelompok. Salah satu media yang digunakan untuk melakukan komunikasi adalah bahasa.
            Bahasa adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri ( Kridalaksana, 1993 : 21).  Kabupaten Tegal merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah yang mayoritas penduduknya berbahasa Jawa dengan dialek Tegal. Tetapi tidak memungkinkan masyarakat Tegal adalah penduduk asli melainkan penduduk dari daerah lain yang menyebabkan berbagai variasi bahasa.
            Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik. Kridalaksana (1974) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial kemasyarakatan.
            Penggunaan bahasa tentu sudah disepakati oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Sehingga, komunikasi dapat berjalan secara efektif. Apa yang ingin disampaikan dapat dipahami oleh lawan bicara.  Pasar merupakan tempat penjual dan pembeli bertemu, barang dan jasa tersedia untuk dijual dan akan terjadi pemindahan hak milik (Swastha, 1996:50) Pertemuan antara penjual dan pembeli memungkinkan terjadinya interaksi. Dalam interaksi tidak mungkin tanpa menggunkan bahasa. Karena bahasa adalah alat komunikasi untuk menyampaikan pesan kepada orang lain.
            Sebagai sebuah komunitas sosial, pasar memiliki nilai  sosial yang tinggi. Banyak terjadi gejala sosial disana. Salah satunya adalah gejala kebahasaan. Pilihan bahasa sangat penting untuk mendukung interaksi jual beli. Apalagi jual beli tersebut terjadi di toko yang menjual berbagai macam pakaian. Dari pakaian anak-anak hingga dewasa serta untuk perempuan maupun laki-laki. Para pedagang memperlakukan pembeli dengan baik sehingga tertarik dan melakukan pembelian.
            Peneliti mengambil penelitian bagaimana penggunaan bahasa jual beli di Toko pakaian dalam sebuah pasar tradisional sebagai kajian sosiolinguistik, karena terdapat berbagai variasi bahasa.
            Penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui ragam bahasa jual beli di Toko Pakaian Pasar Tradisional Kabupaten Tegal.
KAJIAN TEORI
Bahasa adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh masyarakat umum untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri ( Kridalaksana, 1993 : 21). Bahasa dipergunakan oleh manusia dalam segala aktivitas kehidupan. Dengan demikian bahasa adalah hak yang paling hakiki dalam kehidupan manusia Reching Koen (dalam Pateda dan Yenni 1993: 5) menyatakan, bahwa hakikat bahasa bersifat (a) mengganti, (b) individual, (c) kooperatif, dan (d) sebagai alat komunikasi.
Bahasa dapat menggantikan peristiwa/kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh individu/kelompok. Dengan bahasa, seorang individu/kelompok dapat meminta individu/kelompok lain untuk melakukan suatu pekerjaan. Kalimat diucapkan oleh seorang individu kepada individu lain bersifat individu.
Setelah sebuah kalimat lahir dan didengar oleh individu lain, lalu individu tersebut akan melakukan pekerjaan yang diminta. Kesediaan seseorang individu dalam melakukan pekerjaan itu tentu karena adanya kerja sama antar individu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa bahasa bersifat kooperatif. Disamping bahasa bersifat kooperatif, bahasa juga digunakan sebagai alat komunikasi. Penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut adalah faktor sosial dan faktor situasional.
Jika suatu masyarakat atau sekelompok orang mempunyai verbal repertoire yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang dipergunakan di dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat itu merupakan masyarakat tutur (specch community). Fishman (1975:28) memberikan batasan bahwa masyarakat tutur ialah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi tutur beserta norma-norma yang sesuai dengan pemakaiannya.
Sifat masyarakat tutur yang besar dan beragam antara lain ialah bahwa variasi dalam verbal repertoirenya diperoleh terutama karena pengalaman dan diperkuat dengan adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu.
Suatu ketentuan dasar dari masyarakat tutur ialah bahwa masyarakat tutur itu bukanlah suatu masyarakat yang berbicara dengan bahasa yang sama. Melainkan suatu masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi atau karena integrasi simbolis, dengan tetap menghormati (mengakui) kemampuan komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa dan atau variasi bahasa yang dipergunakannya (Gamperz : 1964:37-53).
Variasi bahasa adalah bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-maing memiliki pola menyerupai pola umum bahasa induknya ( Poedjosoedarmo dalam suwito, 1982:20).  Hartman dan Stork (dalam chaer dan Agustina, 1995 : 81) membedakan variasi bahasa berdasarkan kriteria, (a) latar belakang geografi dan sosial penutur, (b) medium yang digunakan, dan (c) pokok pembicaraan. Haliday membedakan variasi bahasa berdasarkan pemakaian yang disebutnya dengan dialek dan register. Rumusan yang hampir sama dinyatakan oleh Alwasilah (1985 :66) meskipun para penutur memakai bentuk-bentuk yang berbeda, tetapi bentuk-bentuk itu merupakan satu bahasa yang sama, misalnya idiolek, dialek, sosiolek, dan register/style.
Sebagai sebuah langue sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena penutur bahasa tersebut meski berada dalam masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa yang konkret, yang disebut parole, menjadi tidak seragam. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam.
Dalam hal variasi  atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi bahasa itu terrjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Andai kata penutur itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi atau keragaman itu tidak akan ada artinya, bahasa itu menjadi seragam.
Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan  ini dapat saja diterima atau pun di tolak. Yang jelas, variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial.
Dalam buku sosiolinguistik perkenalan awal Abdul Chaer, untuk mudahnya, variasi bahasa itu pertama-tama kita bedakan berdasarkan penutur dan penggunaannya. Berdasarkan penutur  berarti, siapa yang menggunakan bahasa itu, dimana tinggalnya, bagaimana kedudukan sosialnya di dalam masyarakat, apa jenis kelaminnya, dan kapan bahasa itu digunakannya. Berdasarkan  penggunaannya, berarti bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalur dan alatnya, dan bagaimana situasi keformalannya.  Berikut ini akan dibicarakan variasi-variasi bahasa tersebut, dimulai dari segi penutur dengan berrbagai kaitannya, dilanjutkan dengan segi penggunaannya juga dengan berbagai kaitannya.
a.       Variasi dari Segi Penutur
Variasi  bahasa pertama yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah variasi bahasa yang disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan ‘warna suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat dan sebagainya.
Variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek, yakni bahasa dari sekelompok penutur  yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah atau area tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional, atau dialek geografis.
Variasi ketiga berdasarkan penutur adalah yang disebut kronolek atau  dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Umpamanya variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi yang digunakan tahun lima puluhan dan variasi yang digunakan pada masa kini.
Variasi bahasa yang keempat berdasarkan penuturnya adalah apa yang disebut sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya
Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status dan kelas sosial penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon,argot  dan kei. Yang dimaksud dengan   adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi daripada variasi sosial lainnya. Sebagai contoh akrolek ini adalah bahasa bagongan yaitu variasi bahasa jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan kraton jawa.
Basilek  adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi atau bahkan dianggap dipandang rendah. Bahasa vulgar  variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasaoleh mereka yang kurang terpelajar atau dari kalangan yang tidak berpendidikan. Slang  adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Bahasa argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia.  Ken adalah variasi sosial tertentu yang bernada  memelas dibuat merengek-rengek, penuh dengan kepura-puraan.

b.      Variasi dari Segi Pemakaian
Variasi berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya atau fungsinya disebut fungsiolek (Nababan 1984), ragam, atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang ap. Misalnya bidang sastra, jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan dan kegiatan keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling tampak cirinya adalah dalam bidang kosakata.
Ragam bahasa jurnalis mempunyai cara tertentu yakni bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami dengan mudah, komunikatif karena jurnalistik harus menyampaikan berita secara tepat, dan ringkas karena keterbatasan ruang.
Ragam bahasa militer dikenal dengan cirinya yang ringkas dan bersifat tegas, sesuai dengan tugas dan kehidupan kemiliteran yang penuh dengan disiplin dan instruksi. Ragam bahasa ilmiah dikenal dengan cirinya yang lugas, jelas, dan bebas dari keambiguan, serta segala macam metafora dan idiom. Variasi bahasa berdasarkan fungsi lazim disebut register.
c.       Variasi dari Segi Keformalan
Berdasarkan tingkat keformalan Martin Joos ( 1967) dalam bahasa The Five Clock membagi variasi bahasa atas lima macam gaya (inggris style), yaitu gaya atau ragam beku (frozen) gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam santai (cassual) dan gaya atau ragam akrab (intimate).
Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi, misalnya dalam upacara kenegaraan, khotbah di masjid, tata cara pengambilan sumpah, undang-undang, akte notaris, dan surat-surat keputusan. Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya.
Ragam usaha atau konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Ragam santai atau cassual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu istirahat, berolah raga, berekreasi dan sebagainya. Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti anggota keluarga, atau antar teman yang sudah karib.
d.      Variasi dari Segi Sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni misalnya dalam bertelepon dan bertelegraf. Adanya bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama.
METODE  PENELITIAN
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Menurut Bogdan dan Taylor ( dalam Moleong, 2005 : 4), penelitian deskriptif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata-kata atau lisan objek yang diamati.  Metode ini berfokus pada dialog-dialog atau ujaran dari para penutur.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara merekam pembicaraan antara pembeli dan penjual. Dari hasil rekaman tersebut kemudian dialog percakapan ditulis, dan diteliti.
Objek penelitian yaitu beberapa toko pakaian di pasar tradisional kemantran kabupaten tegal dan beberapa penjual yang menawarkan barang serta antara penjual dan pembeli yang melakukan interaksi tawar menawar barang.

 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai ragam bahasa jual beli di Toko Pakaian Pasar Tradisional Kemantran Kabupaten Tegal mengambil ragam bahasa kolokial, bahasa yang dipergunakan dalam percakapan sehari-hari antara pedagang dan pembeli dalam transaksi jual beli.
Ragam bahasa kolokial antara pedagang dan pembeli menggunakan ragam bahasa dialek Tegal. Ada yang menggunakan ragam bahasa santai dan ragam bahasa akrab seolah-olah pembeli sudah akrab dengan penjual. Hasil penelitian lapangan dalam bentuk percakapan yang telah direkam oleh peneliti.
PERCAKAPAN 1
Konteks : percakapan disebuah Toko Pakaian. Seorang penjual menawarkan produk pakaian  kepada pembeli          
Penjual            :  “monggo, mbak’e madosi nopo? Gamis, atasan kaos, kemeja?”
                        (Silahkan, mbak mencari apa? Gamis, atasan kaos, kemeja?)
Kutipan percakapan atau dialog diatas memberikan gambaran mengenai bagaimana seorang penjual menawarkan produk kepada pembeli. Penjual dalam menawarkan produk kepada pembeli menggunakan ragam bahasa krama dengan tujuan untuk menarik perhatian kepada pembeli yang ingin mencari gamis, atasan kaos dan kemeja.  Menandakan bahawa pembeli lebih menghargai kepada pembeli. Bahasa yang digunakan jelas, singkat dan efiseien. Sehingga apa yang disampaikan penjual dapat dipahami oleh pembeli.
PERCAKAPAN 2
Konteks  : percakapan seorang pejual menawarkan produk pakaian kepada pembeli
Penjual : “mba luruh apa mba?mene oh mba, atasan, celana, mene oh mba ngene ana.”
            (mba mencari apa mba? Sini oh mba, atasan, celana, sini oh mba, disini ada.)
Percakapan diatas menggambarkan seorang penjual menawarkan produk kepada pembeli. Penjual dalam menawarkan produk menggunakan bahasa jawa ngoko dengan dialek Tegal. Penjual juga menggunakan ragam akrab dalam menawarkan  produk seolah-olah dia sudah akrab dengan pembeli.
PERCAKAPAN 3
Konteks : Di sebuah Toko Pakaian. Seorang pembeli ingin mencari pakaian atasan untuk simbah putrinya.
Penjual  : “ coba iki, mangke kelire enten malih”
                        (coba ini, nanti warnanya ada lagi)
Pembeli : “kegedhen ora?””
                        (kebesaran ga?)
Penjual : “alit niki, kanggo njenengan?”
                        (kecil ini, untuk kamu?)
Pembeli : “ora, kanggo Simbah”
                        (bukan, untuk simbah)
Penjual : “iya nggo Simbah’e, awake cilik oya? sedheng”
                        (iya untuk simbahnya, badannya kecil ya, sedang)
Pembeli : “nggih leres, nduwurane bae bu?”
                        (iya benar, atasannya aja bu?)
Penjual : “oh, nduwurane mawon.”
                        (oh, atasannya aja.)
Pembeli : “iya nduwurane bae.”
                        (iya atasannya aja)
Kutipan percakapan diatas menandakan seorang penjual dan pembeli sedang berinteraksi mengenai pakaian atasan untuk seorang Simbah. Dalam percakapan pejual menggunakan bahasa jawa ngoko dan pembeli menggunakan bahasa jawa ngoko.
            Ketika penjual menggunakan bahasa jawa ngoko seolah-olah dia sudah akrab dengan pembeli sehingga menggunakan bahasa jawa ngoko.


PERCAKAPAN 4
Konteks : Di sebuah Toko Pakaian. Seorang pembeli dan penjual melakukan kesepakatan harga.
Penjual : “ ben dadi bae, pira maning aja seket lima.”
                        (biar jadi aja, berapa lagi jangan lima puluh lima)
Pembeli : “ wis semono baen neng mba.’
                        (udah segitu aja sih mba)
            Dari kutipan percakapan diatas, menandakan bahwa penjual menginginkan harga jual produk ditambah untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi pembeli tidak mau, pembeli meminta agar harganya sesuai yang diinginkan yaitu lima puluh lima. Percakapan diatas menandakan bahwa penjual menggunakan bahasa jawa ngoko dialek Tegal dan pembeli menggunakan bahasa ngoko dialek Tegal. juga menandakan bahasa yang digunakan adalah ragam santai yang bentuk kata atau ujaran dipendekan seperti “eben” menjadi  ‘ben” yang berari “biar”.
PERCAKAPAN 5
Konteks :  Di sebuah Toko Pakaian. Pembeli mencari sebuah pakaian yang pernah dia beli sebelumnya di toko yang sama dan membeli sebuah krudung segi empat.
Pembeli :  “ mbak kiye apik. Sing bahane kaya kae sih, sing regane sangang puluh”
(mba ini bagus. Yang bahannya seperti itu sih. Yang harganya sembilan puluh ribu)
Penjual : “iya, sangang puluh ader? Sing panjang apa pendek?”
                        (iya, sembilan puluh ribu, masa?. Yang panjang apa pendek?)
Pembeli : “sing pendek, sing pendek bae, sing pendek  kaya wingi sih. Kae mba bocahe cilik nemen.”
                        (yang pendek, yang pendek aja, yang pendek seperti kemarin. Itu mba anaknya kecil banget)
Penjual : “kye L”
                        (ini L)
Pembeli : “ krudung segi empat sing motif ana? Ijo ndog’’e utawa ijo toskane oh. Sing lerek-lerek kuwe sih pira?
 (yang motif ada? Hijau telur sama hijau tosca oh. Yang lerek-lerek itu sih berapa?)
Penjual : “delapan puluh”.
                        (delapan puluh)
Kutipan percakapan diatas menandakan bahwa seorang pembeli yang sedang mencari pakaian seperti yang telah dia beli. Dia menginginkan pakaian yang pendek untuk anak kecil. Juga menginginkan krudung segi empat motif, warna hijau telor atau hijau tosca. Percakapan antara penjual dan pembeli menggunakan bahasa ngoko dialek Tegal tetapi ada beberapa kosakata bahasa indonesia seperti kata panjang dan pendek serta delapun puluh ketika menyatakan harga sebuah barang.
PERCAKAPAN 6
Konteks : Di sebuah Toko Pakaian. Penjual 1 bertanya kepada penjual 2 mengenai ketersediaan stok dan seorang penjual yang menawar harga kepada pembeli. Salah satu penjual berasal dari daerah Padang.
Sebelumnya penjual 1 sedang berbicara menggunakan bahasa Padang .
Penjual 1 : “na awak mau blanja na, yo mahal-mahal na”.
Kemudian ada seorang pemebeli bertanya kepada penjual lain dan penjula lain menanyakan stok kepada penjual 1.
Penjual 2 : “mi, pakaian untuk kelas 5 SD ada ?” (asli Tegal)
Penjual 1 : “ ngga ada” (asli Padang)
Penjual 2 : “ ngga ada mba.” (kepada seorang pembeli).
Pembeli  : “ mi, delapan puluh.”
Penjual 1 : “itu belum dapet. Itu seratus tiga puluh lima.”
            Kutipan percakapan diatas menunjukan bahwa seorang penjual menanyakan ketersediaan stok kepada penjual lain. Kemudian setelah dia mengetahui stok kosong dia memberitahukan kepada pembeli. Bahasa yang digunakan oleh . penjual dan pembeli yaitu bahasa indonesia. Ragam bahasa indonesia yang digunakan adalah ragam santai bukan ragam baku, ditandai dengan kata-kata seperti “nggga”. Yang dalam bahasa indonesia baku adalah “tidak”. Ragam bahasa yang dipakai oleh penjual dan pembeli adalah ragam bahasa santai.
            Percakapan diatas menggunakan bahasa indonesia karena salah satu penjual tidak bisa menggunakan bahasa jawa dialek Tegal atau bahasa jawa jawa biasa. Penjual 1 adalah seorang penjual yang berasal dari daerah Padang pulau Sumatra. Seperti dikutip dalam rekaman percakapan 6 penjual 2 sedang berbicara menggunakan bahasa padang seperti “na awak  mau blanja na, yo mahal-maha na”
PENUTUP
Berdasarkan penelitian Ragam Bahasa Jual Beli di Toko Pakaian Pasar Kemantran Kabupaten Tegal dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Pola bahasa yang digunakan penjual dan pembeli di toko pakaian pasar tradisional ditentukan oleh situasi dan kondisi. Ketika penjual menggunakan bahasa krama dalam menawarkan sebuah produk maupun berinteraksi dengan pembeli menandakan bahwa penjual lebih menghargai akan kebutuhan pembeli. Ragam bahasa jawa ngoko dipilih pada situasi lebih akrab, lebih santai antara penjual dan pembeli. Namun kebanyakan interaksi antara penjual dan pembeli menggunakan bahasa jawa ngoko dialek Tegal.
2.      Wujud tuturan yang dilakukan penjual dan pembeli di toko pakaian pasar tradisional     terdiri dari 6 ragam yaitu (1) penjual menggunakan bahasa krama, (2) penjual menggunakan bahasa ngoko, (3) penjual menggunakan ragam bahasa akrab, (4) penjual dan pembeli menggunakan bahasa ngoko, (5) penjual dan pembeli menggunakan ragam santai, dan (6) penjual dan pembeli dominan menggunakan bahasa indonesia.
3.      Wujud tingkat tutur penjual dan pembeli di toko pakaian pasar tradisional yaitu wujud variasi tunggal bahasa yaitu bahasa jawa dan bahasa indonesia. Bahasa jawa krama digunakan untuk lebih menghargai pembeli. Ragam bahasa jawa ngoko digunakan dalam situasi akrab dan santai antara penjual dan pembeli.
4.      Yang menetukan penggunaan bahasa penjual dan pembeli antara lain (1) situasi tutur, (2) peserta tutur,(3) kemampuan berbahas, dan (4) pemilihan bahasa penjual dan pembeli.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer. L Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan. Jakarta. Rineka Ilmu.
Aslinda. Syafyahya Leni. 2010. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung. Refika Aditama.
Moloeng. Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Remaja Roadakarya.
Suwito. 1985. Sosiolinguistik Pengantar Awal. Surakarta. Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.



0 komentar:

Posting Komentar