Sebagai salah satu bentuk fenomena ,
kebenaran ilmu pengetahuan tentu tidaklah bersifat mutlak. Ilmu pengetahuan
bukanlah wahyu Tuhan yang kebenarannya tidak dapat ditawar-tawar lagi. Teori
sastra adalah bagian dari ilmu pengetahuan yang kebenarannya tidak bersifat
mutlak itu. Oleh karena itu, selalu tersedia ruang kosong dari setiap teori
sastra yang dapat diisi oleh siapa pun yang mempelajarinya. Ruang kosong itu
terbuka bagi setiap orang untuk mengkritisi teori yang dipelajarinya.
Banyak aspek yang dapat dikritis dari sebuah
teori sastra. Salah satu dari aspek tersebut adalah apa yang menjadi kelemahan
dari teori sastra tersebut dalam tugasnya sebagai alat untuk menelaah karya
sastra. Dalam hubungan dengan kajian atau analisis karya sastra, sebuah teori sastra
adalah sebuah "pisau bedah" yang digunakan untuk
"mengoperasi" karya sastra tersebut. Tidak setiap pisau bedah cocok
untuk digunakan dalam setiap operasi pembedahan. Di samping tergantung dari
anatomi tubuh manusia yang akan dioperasinya, juga tergantung dari jenis
penyakitnya.
Demikian pula halnya dengan teori
sastra. Tidak sembarang teori sastra dapat digunakan untuk menganalisis
karya sastra. Lebih tepatnya, tidak sembarang teori sastra dapat digunakan
untuk mencapai tujuan dari analisis yang dilakukan terhadap karya sastra
tersebut. Pilihan teori sastra sebagai pisau bedah analisis tergantung dari
tujuan yang hendak dicapai dari analisis karya sastra tersebut. Namun, sesuai
dengan kedudukannya sebagai salah satu bentuk fenomena dalam definisi
Imannuel Kant, teori sastra sebagai pisau bedah memiliki kekuatan dan
kelemahannya masing-masing. Kelemahan (atau kekurangan) dari masing-masing
teori sastra dalam fungsinya sebagai alat analisis karya sastra itulah yang
menjadi perhatian penulis untuk disajikan dalam kertas-tugas ini.
TEORI
SASTRA STRUKTURALIS
Pada abad 20 di Barat terjadi perubahan haluan
yang berangsur-angsur dalam ilmu sastra. Pergeseran yang umum dapat dilihat di
bidang ilmu-ilmu kemanusiaan ialah pergeseran dari pendekatan historik atau diakronik
ke pendekatan sinkronik –bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi di suatu
masa yang terbatas dengan mengabaikan perkembangannya (Kamus Besar Bahasa
Indonesia edisi II : 946)- dan sekaligus dapat disaksikan secara khas
pergeseran dari pendekatan sastra sebagai sarana untuk pengetahuan lain ke arah
sastra sebagai bidang kebudayaan yang otonom.
Dibidang ilmu bahasa, telah disebut nama
Ferdinand de Saussure, yang membawa perputaran perspektif yang cukup radikal
dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Penelitian bahasa menurut
pendapat ini harus mendahulukan bahasa sebagai system yang sinkronik, makna dan
fungsi unsur-unsurnya hanya dapat dipahami dalam keterkaitan dengan unsur-unsur
lain. Sifat utama bahasa sebagai system tanda ialah sifat relasionalnya yang
berarti keseluruhan relasi atau oposisi antara unsur-unsur dan aspek-aspeknya
harus diteliti dan dipahami lebih dahulu baru kemudian secara efektif dapat
ditelusuri perubahannya dalam sejarah. Konsepsi yang demikianlah merupakan awal
mula aliran ilmu bahasa yang disebut strukturalis yang kemudian berpuluh-puluh
tahun lamanya menjadi dominan dalam ilmu bahasa, baik di Eropa maupun di
Amerika Serikat.
sastra merupakan
tahap awal dalam penelitian karya sastra yang harus dilakukan untuk mengetahui
karya satra itu berkualitas apa tidak, tetapi untuk mengetahui hal tersebut
tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja melainkan harus dari semua elemen
secara keseluruhan. Analisis
struktural merupakan salah satu cara untuk mengetahui kualitas sastra, dan
merupakan jembatan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam karya sastra.
Oleh karena itu, peneliti hendaknya tidak terjebak dalam analisis struktural
sebab tujuan utama dalam penelitian adalah mengkaji makna yang terkandung dalam
sebuah karya sastra. Fananie (2000: 76) penilaian karya sastra yang baik tidak
hanya dinilai berdasarkan pada salah satu elemennya melainkan harus dilihat
secara keseluruhan. Oleh karena itu, karya sastra yang hanya bagus dalam salah
satu aspeknya, belum dapat dikatakan sebagai sastra yang berkualitas atau
sastra yang baik, begitu juga sebaliknya.
Analisis struktural sastra disebut juga pendekatan objektif
dan menganalisis unsur intrinsiknya, Fananie (2000: 112) mengemukakan bahwa
pendekatan objektif adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra
secara keseluruhan. Pendekatan yang dinilai dari eksistensi sastra itu sendiri
berdasarkan konvensi sastra yang berlaku. Konvensi tersebut misalnya,
aspek-aspek instrinsik sastra yang meliputi kebulatan makna, diksi, rima,
struktur kalimat, tema, plot (setting), karakter. Yang jelas, penilaian yang
diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra tersebut
berdasarkan keharmonisan semua unsur pembentuknya. Pada aspek ini semua karya
sastra baru bisa disebut bernilai apabila tiap-tiap unsur pembentuknya (unsur
intrinsiknya) tercermin dalam strukturnya, seperti tema, karakter, plot
(setting).
Bahasa merupakan satu kesatuan yang utuh. Kesatuan yang
mencerminkan satu harmonisasi sebagaimana yang dituntut dalam kriteria estetik.
Sebuah struktur mempunyai tiga sifat yaitu totalitas, trasformasi, dan
pengaturan diri. Transformasi yang dimaksud bahwa struktur terbentuk dari
serangkaian unsur, tetapi unsur-unsur itu tunduk kepada kaidah-kaidah yang
mencirikan sistem itu sebagai sistem. Dengan kata lain, susunannya sebagai
kesatuan akan menjadi konsep lengkap dalam dirinya. Transformasi dimaksudkan
bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur dan
mengakibatkan hubungan antarstruktur menjadi berubah pula. Pengaturan diri
dimaksudkan bahwa sruktur itu dibentuk oleh kaidah-kaidah instrinsik dari
hubungan antarunsur yang akan mengatur sendiri bila ada unsur yang berubah atau
hilang (Peaget dalam Sangidu, 2004: 16). Transformasi yang terjadi pada sebuah
struktur karya sastra bergerak dan melayang-layang dalam teksnya serta tidak
menjalar keluar teksnya. Karya sastra sebagai sebuah struktur merupakan sebuah
bangunan yang terdiri atas berbagai unsur, yang satu dengan yang lainnya saling
berkaitan. Karena itu, setiap perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur
akan mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah. Perubahan hubungan
antarunsur pada posisinya itu secara otomatis akan mengatur diri (otoregulasi)
pada posisinya semula (Peaget dalam Sangidu, 2004: 16).
Struktur bukanlah suatu yang statis, tetapi merupakan suatu
yang dinamis karena didalamnya memiliki sifat transformasi. Karena itu,
pengertian struktur tidak hanya terbatas pada struktur (structure), tetapi
sekaligus mencakup pengertian proses menstruktur (structurant) (Peaget dalam
Sangidu, 2004: 16). Dengan demikian, teori struktural adalah suatu disiplin
yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa
unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.
Stanton (2007:20)
membagi unsur-unsur instrinsik yang dipakai dalam menganalisis struktural karya
sastra diantaranya, alur, karakter, latar, tema, saranasarana sastra, judul,
sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi.
Alur : Stanton, (2007: 26) mengemukakan bahwa alur adalah
rangkaian-rangkaian dalam sebuah cerita.
Karakter (penokohan) : Stanton (2007: 33) mengemukakan bahwa
karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk
pada individu-individu yang muncul dalam cerita seperti ketika ada orang yang
bertanya; "Berapa karakter yang ada dalam cerita itu?". Konteks
kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan,
emosi, dan prinsip moral dari individu-individu.
Latar : Stanton (2007: 35) mengemukakan bahwa latar
(setting) adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita,
semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
Tema : Stanton (2007: 36) mengemukakan bahwa tema merupakan
aspek cerita yang sejajar dengan "makna" dalam pengalaman manusia;
suatu yang menjadikan suatu pengalaman yang iangkat.
Sarana-Sarana Sastra : Stanton (2007: 46) mengemukakan bahwa
sarana sastra dapat diartikan sebagai metode pengarang memilih dan menyusun
detail cerita agar tercapai polapola yang bermakna. Metode ini perlu karena
dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang,
memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi.
Judul : Stanton (2007: 51) mengemukakan bahwa judul selalu
relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu
kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul menuju pada sang karakter
utama atau satu latar.
Sudut pandang : Stanton (2007: 53) mengemukakan bahwa sudut
pandang adalah posisi tokoh dalam cerita.
Gaya dan Tone : Stanton (2007: 61) mengemukakan bahwa gaya
atau tone dalam sastra adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa.
Simbolisme : Stanton (2007: 64) mengemukakan bahwa simbol
adalah tanda-tanda yang digunakan untuk melukiskan atau mengungkapkan sesuatu
dalam cerita.
Ironi : Stanton (2007: 71) mengemukakan
bahwa secara umum ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa
sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya.
Pada prinsipnya, analisis struktural bertujuan membongkar
dan memaparkan secermat, seteliti, serinci dan semendalam mungkin keterkaitan
dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama
menghasilkan karya menyeluruh. Analisis structural bukanlah penjumlahan
anasir-anasir itu, misalnya tidak cukup didaftarkan semua kasus aliterasi,
asonansi, rima akhir, rima dalam, inverse sintaksis, metaphor dan metonimi
dengan segala macam peristilahan yang muluk-muluk, dengan apa saja yang secara
formaldapat diperhatikan pada sebuah sajak, atau dalam hal roman pun tidak
cukup semacam enumerasi gejala-gejala yang berhubungan dengan aspek waktu,
ruang, perwatakan, point of view, sorot balik dan apa saja. Yang penting justru
sumbangan yang diberikan oleh semua gejala semacam ini pada keseluruhan makna
dalam keterkaitan dan keterjalinannya, juga dan justru antara berbagai tataran
(fonik, morfologis, sintaksis, semantic).
ANALISIS STRUKTURAL UNTUK KARYA SASTRA DI INDONESIA
Di Indonesia juga sudah
banyak analisis struktur yang dihasilkan baik sebagai sebuah skripsi sarjana,
atau dalam proyek (Pusat Bahasa, Fakultas Sastra dll), ataupun dalam ruangan
Sorotan yang dimulai oleh Jassin, kemudian terdapat dalam banyak suratkabar dan
majalah lain. Tetapi sering analisis
semacam itu kurang mendalam dan terpadu. Yang baik, misalnya, beberapa tulisan
Umar Junus sejak tahun 1970, dan sejumlah studi Subagio Sastrowardoyo. Di
bidang sastra Melayu klasik dapat disebut desertasi Achadiati Ikram mengenai
Hikayat Sri Rama (1980) dan desertasi Sulastin Sutrisno mengenai Hikayat Hang
Tuah (1978).
Berbagai contoh analisis struktural terhadap
karya sastra Indonesia, dapat dibaca lebih lanjut dalam buku Beberapa Teori
Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya karya Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo.
KELEMAHAN ANALISIS STRUKTURAL
Kelemahan terbesar dari strukturalisme
adalah sifatnya yang sinkronistis. Sebuah karya sastra dianggap sebagai sebuah
dunia tersendiri yang terlepas dari dunia lainnya. Padahal, sebuah karya sastra
adalah cermin zamannya. Artinya, karya sastra yang dihasilkan seorang pengarang
pada suatu kurun waktu tertentu merupakan gambaran dari kondisi kehidupan yang
terdapat dalam kurun waktu tersebut. Di dalamnya terdapat gambaran tentang
situasi sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dari kurun waktu (zaman)
tersebut. Strukturalisme mengabaikan semua itu. Strukturalisme hanya
"bermain-main" dengan bangunan bentuk dari sebuah karya sastra
semata-mata. Aspek-aspek kesejarahan dari sebuah karya sastra tidak dibenarkan
untuk dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Dapatlah dipahami jika teori
strukturalisme diposisikan sebagai teori sastra yang a-historis. Seorang
pengarang tidaklah menulis dalam sebuah ruang kosong. Ia menulis dalam sebuah
ruang yang di dalamnya penuh dengan berbagai persoalan kehidupan.
Persoalan-persoalan itu tentulah mempengaruhi alam pikiran pengarang ketika
membuat karangannya. Kondisi itu diabaikan oleh teori strukturalisme.
0 komentar:
Posting Komentar